Jumat, 08 Mei 2015

Suku Bangsa Talaud

Suku bangsa Talaud
mendiami gugusan pulau-pulau Talaud di Kabupaten Kepulauan Sangir-Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Daerah mereka terdiri dari tiga pulau utama, yaitu Pulau Karakelang, Salibabu dan Kabaruan. Nama lain dari Talaud adalah Taloda, artinya "orang laut". Ada juga yang menyebutnya Porodisa.
Asal-Usul
Suku Sangir (SangiheTalaud, adalah komunitas suku yang mendiami pulau-pulau kecil antara Sulawesi dan Filipina.
Menurut penuturan tokoh masyarakat Sangihe Talaud, dulunya mereka berasal dari beberapa kelompok suku pendatang yang pada akhirnya berbaur menjadi suatu suku bernama Suku Sangihe Talaud. Suku-suku pendatang tersebut adalah:
- Apapuang (yang paling awal), konon ceritanya berasal dari Bangsa Negrito;
- Dari Saranggani, Mindanao Selatan;
- Dari daratan Merano, Mindanao Tengah;
- Dari Kepulauan Sulu (sebagian kecil adalah raksasa)
-Dari Kedatuan Bowentehu + Manado Tua, dimana ras ini berasal dari Molibagu (Bolangitam).

Bahasa Suku Talaud
Bahasa Talaud terdiri atas enam dialek, yaitu Sali-Babu, Karakelang, Essang, Nanusa, Miangas, dan Kabaruan. Bahasa Talaud juga mengenal tingkatan bahasa halus, menengah, dan kasar. Masyarakat ini memakai bahasa Melayu Manado sebagai bahasa pergaulan (sehari-hari).
Mata Pencaharian Suku Talaud
Mata pencaharian utama masyarakat ini adalah menjadi nelayan di laut hanya sebagian kecil saja yang menjadi petani di ladang-ladang atau dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Tanaman utama mereka adalah ubi-ubian, walaupun sudah diusahakan pula bertanam padi ladang dan sawah.

Masyarakat Suku Talaud
Karena mata pencahariannya lebih banyak ke laut, maka masyarakat ini umumnya mendirikan kampung di pinggir pantai dekat muara-muara sungai. Keluarga intinya disebut gaghurang yang berdiam di rumah semi permanen yang disebut bale. Keluarga-keluarga inti lalu membentuk kelompok keluarga luas terbatas yang disebut ruangana. Kelompok ini berdiam di rumah besar yang disebut bale manandu. Pada saat mereka bekerja di ladang atau menangkap ikan agak jauh dari kampung. mereka terpaksa mendirikan rumah sementara yang mereka sebut sabua. Sebuah kampung sering dihuni oleh satu ruangana, tetapi umumnya terdiri atas tiga sampai empat ruangana. Orang Talaud mempunyai hubungan kekerabatan yang bilateral sifatnya.

Pada zaman dulu masyarakat Talaud sudah mengembangkan sistem sosial politik dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil. Pada masa sekarang pengaruhnya masih terlihat dalam pelapisan sosial masyarakatnya. Golongan keturunan raja-raja dan bangsawan lama itu disebut kelompok papung, dan dibawahnya baru golongan rakyat biasa. Golongan budak zaman dulu disebut alangnga. Pada masa sekarang pelapisan sosial yang tajam seperti di atas suda menipis pengaruhnya.

Pada zaman dulu pernah berdiri kerajaan Talaud yang dipimpin seorang ratu atau raja. Kekuasaan dibawahnya dibagi-bagi kepada beberapa orang jogugu yang membawahi pula sejumlah kampung (wanua) di bawahnya. Kepala kampung disebut kapitan laut. Dalam tugasnya kapitan laut ini dibantu oleh sejumlah Dewan Adat yang disebut Inanggu Wanua yang sebenarnya adalah gabungan dari para pemimpin kelompok keluarga luas terbatas yang disebut timadu ruangana.

Suku Sangir Talaud  diperkirakan telah ada ribuan tahun Sebelum Masehi, hidup dan bertahan di pulau-pulau antara Sulawesi dan Filipina. Kajian antropologi kebudayaan pada masa sebelumnya menjelaskan orang Sangihe Talaud merupakan rumpun manusia berbahasa Melanesia yang berasal dari migrasi Asia pada 40.000 tahun SM. Kemudian disusul pada masa yang lebih muda sekitar 3.000 tahun SM dari Formosa yang berbahasa Austronesia. Penemuan terbaru yang lebih mengejutkan yang berhasil mematahkan terori linguistic di atas, adalah adanya kemungkinan nenek moyang suluruh klan di Indonesia berasal dari Nias-Mentawai, dengan ciri gen dari masa yang lebih tua sebelum migrasi Formosa.

Dalam aneka budaya lisan di masyarakat Sangihe Talaud, ada cerita nenek moyang seperti pengakuan adanya para Pendatang (Homo sapiens) yang dalam bahasa setempat disebut sebagaiAmpuang (manusia biasa). Selain para pendatang ini juga ada dua jenis manusia lain yang telah ada di sana dari masa sebelumnya yaitu Ansuang (raksasa) dan Apapuhang (manusia kerdil). Untuk dua jenis manusia terakhir itu, belum bisa dibuktikan secara ilmiah, karena mereka masih terbatas pada kepercayaan dengan adanya beberapa artefak bekas kaki dalam ukuran besar yang terpahat di bebatuan.

Sejumlah legenda pun ikut memperkaya kesimpangsiuran jejak asal muasal manusia Sangihe Talaud. Dari kepercayaan turun-temurun,  
pPulau-pulau Sangihe Talaud konon tercipta dari air mata seorang bidadari. Dari bidadari inilah manusia Sangihe dilahirkan. Ini sebabnya nama Sangihe itu berasal dari kata Sangi (tagis). Di pulau-pulaud Talaud, penyebutan Porodisa untuk kawasan itu justru dikaitkan dengan anggapan dimana manusia Talaud adalah keturunan Wando Ruata, yaitu seorang manusia gaib yang berasal dari Surga. Padahal kata Porodisa menurut teori linguistic justru merupakan mutasi neurologist bahasa lisan dari bahasa Spanyol: Paradiso (surga). Kata Sangi di Sangihe sendiri merupakan mutasi dari kata Melayu: tangis.

Mite lainnya bercerita tentang manusia yang berasal dari telur buaya. Ada juga yang beranggapan terjadi dari evolusi pelepah pisang secara mistis menjadi manusia. Kepercayaan terhadap dewa dewi dan system nilai budaya orang Sangihe Talaud ini menujukan adanya persinggung dengan system nilai di tempat lain seperti teori keseimbangan alam, memiliki kesamaan dengan teori Fun She dan Esho Funi dalam pemahaman Hindu kuno. Kepercayaan “Manna” atau kepercayaan terhadap adanya kekuatan mekanis dalam alam yang mempengaruhi peri kehidupan manusia, bukan tidak mungkin merupakan interpretasi lain akibat mutasi dari pemahaman kaum semitik akan Tuhan. Demikian pula dengan budaya ritual persembahan kurban yang mengunakan symbol darah Manusia yang di pukul sampai mati.

Manusia Sangihe Talaud sejak masa purba, juga mengakui adanya zat suci pencipta alam semesta dan manusia yang di sebut “Doeata, Ruata”, juga dinamakan ”Ghenggona”. Di bawahnya, bertahta banyak roh Ompung (Roh penguasa laut), dan Empung (roh penguasa daratan). Dewa-dewi ini berhadirat di gunung dan lembah-lembah, di laut, di sehamparan karang. Di cerocok dan tanjung. Di pohon, dan dalam angin. Di cahya, bahkan bisikan bayu. Di segala tempat, ruang, dan suasana. Kendati begitu, eksplorasi yang lebih ilmiah terhadap asal usul manusia Sangihe Talaud, yang telah ada saat ini baru sebatas dari masa abad ke 14. Bermula pada periode Migrasi Kerajaan Bowontehu 1399-1500. Disusul periode Kerajaan Manado 1500-1678. Dan terakhir periode kerajaan-kerajaan Sangihe Talaud dari 1425-1951.Gumansalangi (Upung Dellu) sebagai Kulano tertua kerajaan Tabukan atau Tampunglawo, yang bermukim di gunung Sahendarumang bersama Ondoasa (Sangiang Killa), istrinya, adalah anak dari Humansandulage bersama istrinya Tendensehiwu, yang mendarat di Bowontehu pada awal mula migrasi Bowontehu, Desember 1399. Mereka melakukan pelayaran dari Molibagu melalui Pulau Ruang, Tagulandang, Biaro, Siau terus ke Mangindano (Mindanau-Filipina), kemudian balik ke pulau Sangir – Kauhis dan mendaki gunung Sahendarumang, dimana mereka dan para pengikut mendirikan kerajaan Tampunglawo sebagai kerajaan tertua di Tabukan, yang pada periode kemudian melebar hingga ke seluruh kawasan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Sementara Bulango bermigrasi dari Bowontehu pada 1570 menuju Tagulandang dimana anaknya bernama ratu Lohoraung mendirikan kerajaan Tagulandang di pulau itu bersama para pengikutnya.

Mata Pencaharian Suku Talaud

Mata pencaharian utama masyarakat ini adalah menjadi nelayan di laut hanya sebagian kecil saja yang menjadi petani di ladang-ladang atau dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Tanaman utama mereka adalah ubi-ubian, walaupun sudah diusahakan pula bertanam padi ladang dan sawah.

Upacara Tulude
           
Upacara adat ''Tulude'' merupakan hajatan tahunan warisan para leluhur masyarakat Nusa Utara (kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro) di ujung utara propinsi Sulawesi Utara. Telah berabad-abad acara sakral dan religi ini dilakukan oleh masyarakat etnis Sangihe dan Talaud sehingga tak mungkin dihilangkan atau dilupakan oleh generasi manapun. Tradisi ini telah terpatri dalam khasanah adat, tradisi dan budaya masyarakat Nusa Utara.  

Pengertian Tulude itu sendiri adalah menolak atau mendorong dalam hal ini menolak tahun yang lama dan siap menerima tahun yang baru.  

Dalam upacara adat tulude ini, ada berbagai konten adat yang dilakukan. Pertama, dilakukan pembuat kue adat Tamo di rumah seorang tokoh adat semalam sebelum hari pelaksanaan upacara.Kedua, persiapan-persiapan pasukan pengiring, penari tari Gunde, tari salo, tari kakalumpang, tariempat wayer, kelompok nyanyi masamper. Ketiga, penetapan tokoh adat pemotong kue adat tamo, penyiapan tokoh adat pembawa ucapan Tatahulending Banua, tokoh adat pembawa ucapan doa keselamatan, seorang tokoh pemimpin upacara yang disebut Mayore Labo, dan penyiapan kehadiran Tembonang u Banua (pemimpin negeri sesuai tingkatan pemerintahan pelaksanaan upacara seperti kepala desa, camat, bupati/walikota atau gubernur) bersama Wawu Boki (isteri pemimpin negeri) serta penyebaran undangan kepada seluruh anggota masyarakat untuk hadir dengan membawa makanan untuk acara Saliwangu Banua (pesta rakyat makan bersama).  
Waktu pelaksanaan upacara adat Tulude adalah sore hari hingga malam hari selama kurang-lebih 4 jam. Waktu 4 jam ini dihitung mulai dari acara penjemputan kue adat Tamo di rumah pembuatan lalu diarak keliling desa atau keliling kota untuk selanjutnya dibawa masuk ke arena upacara. Sebelum kue Tamo ini di bawah masuk ke arena upacara, Tembonang u Banua (Kepala Desa, Camat, Walikota/Bupati atau Gubernur wajib sudah berada di bangsal utama untuk menjemput kedatangan kue adat ini. Di sana akan ada hajatan Tulude.