Suku bangsa Talaud
mendiami gugusan pulau-pulau
Talaud di Kabupaten Kepulauan Sangir-Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Daerah
mereka terdiri dari tiga pulau utama, yaitu Pulau Karakelang, Salibabu dan
Kabaruan. Nama lain dari Talaud adalah Taloda, artinya "orang laut".
Ada juga yang menyebutnya Porodisa.
Asal-Usul
Suku Sangir (Sangihe) Talaud,
adalah komunitas suku yang mendiami pulau-pulau kecil antara Sulawesi dan
Filipina.
Menurut penuturan tokoh masyarakat Sangihe Talaud,
dulunya mereka berasal dari beberapa kelompok suku pendatang yang pada akhirnya
berbaur menjadi suatu suku bernama Suku Sangihe Talaud. Suku-suku pendatang
tersebut adalah:
- Apapuang (yang paling awal), konon ceritanya berasal dari Bangsa Negrito;
- Dari Saranggani, Mindanao Selatan;
- Dari daratan Merano, Mindanao Tengah;
- Dari Kepulauan Sulu (sebagian kecil adalah raksasa)
-Dari Kedatuan Bowentehu + Manado Tua, dimana ras ini
berasal dari Molibagu (Bolangitam).
Bahasa Suku Talaud
Bahasa Talaud terdiri
atas enam dialek, yaitu Sali-Babu, Karakelang, Essang, Nanusa, Miangas, dan
Kabaruan. Bahasa Talaud juga mengenal tingkatan bahasa halus, menengah, dan
kasar. Masyarakat ini memakai bahasa Melayu Manado sebagai bahasa pergaulan
(sehari-hari).
Mata Pencaharian
Suku Talaud
Mata pencaharian utama masyarakat ini adalah
menjadi nelayan di laut hanya sebagian kecil saja yang menjadi petani di
ladang-ladang atau dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Tanaman utama mereka
adalah ubi-ubian, walaupun sudah diusahakan pula bertanam padi ladang dan
sawah.
Masyarakat Suku Talaud
Karena mata pencahariannya lebih banyak ke
laut, maka masyarakat ini umumnya mendirikan kampung di pinggir pantai dekat
muara-muara sungai. Keluarga intinya disebut gaghurang yang berdiam di rumah
semi permanen yang disebut bale. Keluarga-keluarga inti lalu membentuk kelompok
keluarga luas terbatas yang disebut ruangana. Kelompok ini berdiam di rumah
besar yang disebut bale manandu. Pada saat mereka bekerja di ladang atau
menangkap ikan agak jauh dari kampung. mereka terpaksa mendirikan rumah
sementara yang mereka sebut sabua. Sebuah kampung sering dihuni oleh satu
ruangana, tetapi umumnya terdiri atas tiga sampai empat ruangana. Orang Talaud
mempunyai hubungan kekerabatan yang bilateral sifatnya.
Pada zaman dulu masyarakat Talaud sudah mengembangkan sistem sosial politik
dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil. Pada masa sekarang pengaruhnya masih
terlihat dalam pelapisan sosial masyarakatnya. Golongan keturunan raja-raja dan
bangsawan lama itu disebut kelompok papung, dan dibawahnya baru golongan rakyat
biasa. Golongan budak zaman dulu disebut alangnga. Pada masa sekarang pelapisan
sosial yang tajam seperti di atas suda menipis pengaruhnya.
Pada zaman dulu pernah berdiri kerajaan Talaud yang dipimpin seorang ratu atau
raja. Kekuasaan dibawahnya dibagi-bagi kepada beberapa orang jogugu yang
membawahi pula sejumlah kampung (wanua) di bawahnya. Kepala kampung disebut
kapitan laut. Dalam tugasnya kapitan laut ini dibantu oleh sejumlah Dewan Adat yang
disebut Inanggu Wanua yang sebenarnya adalah gabungan dari para pemimpin
kelompok keluarga luas terbatas yang disebut timadu ruangana.
Suku Sangir Talaud
diperkirakan telah ada ribuan tahun Sebelum Masehi, hidup dan bertahan di
pulau-pulau antara Sulawesi dan Filipina. Kajian antropologi kebudayaan pada
masa sebelumnya menjelaskan orang Sangihe Talaud merupakan rumpun manusia
berbahasa Melanesia yang berasal dari migrasi Asia pada 40.000
tahun SM. Kemudian disusul pada masa yang lebih muda sekitar 3.000 tahun SM
dari Formosa yang berbahasa Austronesia. Penemuan terbaru yang lebih
mengejutkan yang berhasil mematahkan terori linguistic di atas, adalah adanya
kemungkinan nenek moyang suluruh klan di Indonesia berasal dari Nias-Mentawai,
dengan ciri gen dari masa yang lebih tua sebelum migrasi Formosa.
Dalam aneka budaya lisan di masyarakat Sangihe Talaud, ada cerita nenek moyang
seperti pengakuan adanya para Pendatang (Homo sapiens) yang dalam bahasa
setempat disebut sebagaiAmpuang (manusia biasa). Selain para
pendatang ini juga ada dua jenis manusia lain yang telah ada di sana dari masa
sebelumnya yaitu Ansuang (raksasa) dan Apapuhang (manusia kerdil).
Untuk dua jenis manusia terakhir itu, belum bisa dibuktikan secara ilmiah,
karena mereka masih terbatas pada kepercayaan dengan adanya beberapa artefak
bekas kaki dalam ukuran besar yang terpahat di bebatuan.
Sejumlah legenda pun ikut memperkaya kesimpangsiuran jejak asal muasal manusia
Sangihe Talaud. Dari kepercayaan turun-temurun, pPulau-pulau Sangihe Talaud konon tercipta dari air mata seorang bidadari.
Dari bidadari inilah manusia Sangihe dilahirkan. Ini sebabnya nama Sangihe itu
berasal dari kata Sangi (tagis). Di pulau-pulaud Talaud, penyebutan
Porodisa untuk kawasan itu justru dikaitkan dengan anggapan dimana manusia
Talaud adalah keturunan Wando Ruata, yaitu seorang manusia gaib yang berasal
dari Surga. Padahal kata Porodisa menurut teori linguistic justru merupakan
mutasi neurologist bahasa lisan dari bahasa Spanyol: Paradiso (surga). Kata
Sangi di Sangihe sendiri merupakan mutasi dari kata Melayu: tangis.
Mite lainnya bercerita tentang manusia yang berasal dari telur buaya. Ada juga
yang beranggapan terjadi dari evolusi pelepah pisang secara mistis menjadi
manusia. Kepercayaan terhadap dewa dewi dan system nilai budaya orang Sangihe
Talaud ini menujukan adanya persinggung dengan system nilai di tempat lain
seperti teori keseimbangan alam, memiliki kesamaan dengan teori Fun She dan
Esho Funi dalam pemahaman Hindu kuno. Kepercayaan “Manna” atau kepercayaan
terhadap adanya kekuatan mekanis dalam alam yang mempengaruhi peri kehidupan
manusia, bukan tidak mungkin merupakan interpretasi lain akibat mutasi dari
pemahaman kaum semitik akan Tuhan. Demikian pula dengan budaya ritual
persembahan kurban yang mengunakan symbol darah Manusia yang di pukul sampai
mati.
Manusia Sangihe Talaud sejak masa purba, juga mengakui adanya zat suci pencipta
alam semesta dan manusia yang di sebut “Doeata, Ruata”, juga dinamakan
”Ghenggona”. Di bawahnya, bertahta banyak roh Ompung (Roh penguasa laut), dan
Empung (roh penguasa daratan). Dewa-dewi ini berhadirat di gunung dan
lembah-lembah, di laut, di sehamparan karang. Di cerocok dan tanjung. Di pohon,
dan dalam angin. Di cahya, bahkan bisikan bayu. Di segala tempat, ruang, dan
suasana. Kendati begitu, eksplorasi yang lebih ilmiah terhadap asal usul
manusia Sangihe Talaud, yang telah ada saat ini baru sebatas dari masa abad ke
14. Bermula pada periode Migrasi Kerajaan Bowontehu 1399-1500. Disusul periode
Kerajaan Manado 1500-1678. Dan terakhir periode kerajaan-kerajaan Sangihe
Talaud dari 1425-1951.Gumansalangi (Upung Dellu) sebagai Kulano tertua kerajaan
Tabukan atau Tampunglawo, yang bermukim di gunung Sahendarumang bersama Ondoasa
(Sangiang Killa), istrinya, adalah anak dari Humansandulage bersama istrinya
Tendensehiwu, yang mendarat di Bowontehu pada awal mula migrasi Bowontehu,
Desember 1399. Mereka melakukan pelayaran dari Molibagu melalui Pulau Ruang,
Tagulandang, Biaro, Siau terus ke Mangindano (Mindanau-Filipina), kemudian
balik ke pulau Sangir – Kauhis dan mendaki gunung Sahendarumang, dimana mereka
dan para pengikut mendirikan kerajaan Tampunglawo sebagai kerajaan tertua di
Tabukan, yang pada periode kemudian melebar hingga ke seluruh kawasan kepulauan
Sangihe dan Talaud.
Sementara Bulango bermigrasi dari Bowontehu pada 1570 menuju Tagulandang dimana
anaknya bernama ratu Lohoraung mendirikan kerajaan Tagulandang di pulau itu
bersama para pengikutnya.
Mata
Pencaharian Suku Talaud
Mata
pencaharian utama masyarakat ini adalah menjadi nelayan di laut hanya sebagian
kecil saja yang menjadi petani di ladang-ladang atau dijadikan sebagai
pekerjaan sampingan. Tanaman utama mereka adalah ubi-ubian, walaupun sudah
diusahakan pula bertanam padi ladang dan sawah.
Upacara Tulude
Upacara adat ''Tulude''
merupakan hajatan tahunan warisan para leluhur masyarakat Nusa Utara (kepulauan
Sangihe, Talaud dan Sitaro) di ujung utara propinsi Sulawesi Utara. Telah
berabad-abad acara sakral dan religi ini dilakukan oleh masyarakat etnis
Sangihe dan Talaud sehingga tak mungkin dihilangkan atau dilupakan oleh
generasi manapun. Tradisi ini telah terpatri dalam khasanah adat, tradisi dan
budaya masyarakat Nusa Utara.
Pengertian Tulude itu sendiri
adalah menolak atau mendorong dalam hal ini menolak tahun yang lama dan siap
menerima tahun yang baru.
Dalam upacara adat tulude ini,
ada berbagai konten adat yang dilakukan. Pertama, dilakukan pembuat kue
adat Tamo di rumah seorang tokoh adat semalam sebelum hari
pelaksanaan upacara.Kedua, persiapan-persiapan pasukan pengiring, penari
tari Gunde, tari salo, tari kakalumpang, tariempat wayer,
kelompok nyanyi masamper. Ketiga, penetapan tokoh adat pemotong kue adat tamo, penyiapan
tokoh adat pembawa ucapan Tatahulending Banua, tokoh adat pembawa ucapan doa
keselamatan, seorang tokoh pemimpin upacara yang disebut Mayore Labo,
dan penyiapan kehadiran Tembonang u Banua (pemimpin negeri sesuai tingkatan
pemerintahan pelaksanaan upacara seperti kepala desa, camat, bupati/walikota
atau gubernur) bersama Wawu Boki (isteri pemimpin negeri) serta penyebaran undangan
kepada seluruh anggota masyarakat untuk hadir dengan membawa makanan untuk
acara Saliwangu Banua (pesta rakyat makan bersama).
Waktu pelaksanaan upacara adat Tulude adalah
sore hari hingga malam hari selama kurang-lebih 4 jam. Waktu 4 jam ini dihitung
mulai dari acara penjemputan kue adat Tamo di rumah pembuatan lalu diarak
keliling desa atau keliling kota untuk selanjutnya dibawa masuk ke arena
upacara. Sebelum kue Tamo ini di bawah masuk ke arena upacara, Tembonang u Banua (Kepala Desa, Camat, Walikota/Bupati atau Gubernur
wajib sudah berada di bangsal utama untuk menjemput kedatangan kue adat ini. Di
sana akan ada hajatan Tulude.